Kalau bertanya soal sebesar apa bentuk rasa cinta masyarakat Jogja terhadap Sultannya, saya jadi ingat masa liburan saya selulus 3 SMA. Satu tas carrier, kaos polos, celana panjang, dan sendal jepit. Destinasi kami menuju Semarang-Surabaya-Jogja dimulai dari Stasiun Kereta Api Pasar Senen.
Semarang cukup menarik jika dilihat dari perjalanan yang bermula dari Kota Lama sampai pada daerah Simpang Lima -- Tugu Muda. Kita dapat menyaksikan suasana tempo doeloe sampai zaman modern.
Yang buat Surabaya menarik, buat saya, adalah Skate & BMX Park yang berada disamping kanal dekat Stasiun Gubeng atau Monumen Kapal Selam. Ini surganya Surabaya!
Destinasi Terakhir
Waktu kami tiba di Stasiun Tugu (Jogja), kami tumpangi becak yang sedang mangkal di depan lampu lalu lintas arah jalan menuju Sarkem (Pasar Kembang). Saya meminta Bapak tukang becaknya untuk mengantar kami ke tempat Mbah (almarhum) saya yang jarak tempuhnya -- kalau naik becak -- sekitar 15 - 20 menit, tergantung otot kaki.
Dalam perjalanan kami, disepanjang jalanan Malioboro saya banyak berbicang dengan Bapaknya tentang sejarah Jogja. Bapak itu bilang kalau dua gedung besar -- Cabang Bank BNI dan Kantor Pos -- di titik nol kilometer dibangun untuk menutup bangunan Kraton pada masa penjajahan. Saya nggak tau kebenarannya gimana, tapi mengingat kejamnya pasukan dan aparat Belanda saat itu, sangat masuk akal.
Saya sempat juga menanyakan Bapaknya tentang kebanggaannya memiliki seorang Raja: Bandoro Raden Mas (BRM) Herdjuno Darpito. Ia terus terang kalau masyarakat Jogja cinta kepada penguasa kotanya. Katanya, sejak dikuasai oleh Hamengkubuwono IX, Jogja tentram dan nyaman.
Sampai sekarang ini, hitungannya hampir 4 tahun di Jogja, saya pernah beberapa kali bertanya lagi ke orang-orang lokal, dari tukang becak sampai mahasiswa asli Jogja. Nggak ada satu pun sifat buruk yang saya dengar dari mereka tentang Sang Pemilik Mahkota sekarang ini. Sebagai mahasiswa HI, tentu saja saya skeptis.
Saya tinggal di daerah Wijilan -- Sentra Gudeg Jogja -- 3 tahun belakangan ini. Setiap kali saya ke kampus, saya mesti melewati Alun-alun Utara, taman luas yang berada persis di depan Kraton. Baru-baru ini saya heran, Alun-alun Utara yang begitu dekat dengan rumah Raja atau simbol terbesar kota Jogja, kenapa nggak dipelihara? Kenapa tamannya gundul? Saya yakin Jogja adalah kota yang berkembang dari aspek pariwisata yang sangat atraktif. Hotel bertebaran dimana-mana adalah salah satu bukti nyatanya semakin banyak turis datang kemari. Dari aspek pariwisata saya melihat bahwa Sultan cerdas dalam memelihara itu, tapi balik lagi, kenapa satu-satunya halaman depan pagar Kraton nggak ditanam kembali rumput-rumputnya? Siang-siang yang ada malah debu-debu tanah yang dihembus oleh bis-bis pariwisata yang sedang mencari ruangan parkir. Ibaratnya kalau saya kerja di media massa, saya sudah mengeluarkan judul berita: Kemana Saja Sultan HB X sekarang ini?
Saya bukan bermaksud menyinggung citra baik kota Jogja, cuma harus skeptis aja dengan rasa cinta yang ada untuk Sultan. Seandainya rumput-rumput itu tumbuh kembali (mungkin juga boleh dipasang lampu-lampu berwarna kuning) Kraton akan tambah cantik. Saya menyinggung permasalahan ini karena saya telah menetap di wilayah Kraton selama hampir 4 tahun, dan tulisan ini adalah bentuk ekspresi dari pengamatan saya.
Semoga tulisan ini nggak cuma sekedar dipahami tapi juga dikembangkan dalam bentuk empati.