Monday, September 16, 2013

Ketika Hidup Ditemukan Dalam Sebuah Novel

Novel pertama dari ketiga novelnya Ahmad Fuadi membuat gue teringat pada masa-masa dilematis semester satu dan dua, ketika belum lama diresmikan menjadi mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional di Jogja.

Penulis Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi, penyabet 8 beasiswa
ke luar negeri. (Foto: Tempo)

Pergaulan yang bertolak 180 derajat dari masa SMA saat itu membuat gue menganggap kuliah sebagai suatu paksaan. Beda banget lingkungannya, gue akui saat itu gue sama sekali belum terbiasa berbaur sama orang-orang yang berbeda budaya. Gue belum bisa berkomunikasi dengan orang yang berbeda logat tapi satu kebangsaan. Rasanya pengen banget gue melayang kembali ke masa-masa SMA.

Untungnya, gue jago memaksakan diri gue buat ngelakuin hal-hal yang nggak gue suka. Contohnya masuk kuliah meskipun gue nggak suka sama kampusnya. Mungkin ini ya perbedaan gue dengan orang lain. Pernah tiba waktunya dimana gue berpikir, mungkin kalau bukan gue yang terjerumus dalam lingkungan ini, mereka bakal bolos atau ujung-ujungnya pindah kampus. Ya maklum, gue pun sering dihantui pemikiran kayak gitu. Pindah, misalnya, sering kali muncul di otak gue ketika on the way berangkat dan pulang dari kampus.

Saat makan siang, gue juga sering mikir buat pindah, atau bolos. Cuma nggak pernah gue lakuin. Gue paksa terus sampai akhirnya, semester dua, gue nyerah sama situasi ini. Pun ketika ditanya teman gue, "kuliah dimana, Bing?", gue bingung harus jawab apa. Apa ini pertanda saatnya gue harus pindah?

Suatu siang, saat kelas pagi udah kelar, gue menelfon nyokap gue buat ngabarin kalau keputusan gue udah bulat. Pindah.

Anehnya, gue nggak lega sama keputusan ini. Gue justru bingung setelah gue tahu kalau kampus yang lagi gue incar nggak bisa menerima IPK dari kampus lain. Dalam artian, nggak ada aturan dimana kampus itu membolehkan transfer nilai antar kampus. Sejauh semester satu ini, nilai gue memuaskan, diatas rata-rata. Sayang kalau mesti mulai dari nol lagi.

Nyokap juga jelas-jelas nolak, dan nyaranin gue buat beli buku berjudul "Sang Pejuang, Sang Pecundang". Katanya, buku itu penuh ajaran-ajaran psikologis. Baiklah, siapa tau bisa menyembuhkan kegalauan gue. Gue kemudian bergegas ke Gramedia buat nyari buku itu. Sayangnya, nggak ada sama sekali. Yang menarik perhatian gue malah novel "Negeri 5 Menara", karya Ahmad Fuadi, yang gue lirik sedetik sebelum gue keluar. Seinget gue, ada temen gue yang pernah cerita penulis novel ini nyabet 8 beasiswa. Gilak, menarik juga, beli ah.

Sejak malam itulah gue baca novel karya sang perantau Minang yang telah berkeliling benua Amerika berkat penghargaan beasiswa ini. Novel ini mengisahkan realita kehidupan Ahmad Fuadi yang telah jenuh belajar di dalam sekolah berlandaskan ajaran Islam. Karena ibunya menolak permintaan dia buat menempuh pendidikan di sekolah negeri (yang bercampur agama), akhirnya dia lanjut sekolah di Pondok Pesantren Gontor -- Pondok Madani. Terpaksa namun berusaha melihat segi positifnya, di Gontor dia menemukan sebuah persahabatan yang terus memotivasinya untuk bertahan hingga lulus. Sahibul Menara, begitu ia menyebutnya. Disana pula dia diajarkan nilai-nilai Islam yang sampai sekarang terus diingat sebagai pondasi kehidupannya.

Inilah tiga ajaran Islam yang ia dapat dari Gontor:

1. Man jadda wajada: Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil (Negeri 5 Menara)
2. Man shabara zhafira: Siapa yang bersabar akan beruntung (Ranah 3 Warna)
3. Man saara ala darbi washala: Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan (Rantau 1 Muara).

Berkat Negeri 5 Menara, gue mulai berpikir bahwa pindah ke kampus lain bukanlah penyelesaian masalah, tetapi lari dari masalah. Ketika lingkungan menjadi masalah bagi kita, sesungguhnya bukan lingkungan tersebut yang menjadi masalah, akan tetapi diri kita sendiri apabila kita tidak mencoba mengubahnya menjadi lebih baik. Boleh dibilang kayak ustad, tapi kenyataannya, menurut gue, emang benar hehe. Contohnya, coba liat Soekarno, kalau aja dia ngundurin diri saat perang, Indonesia belum tentu merdeka. Kesimpulannya, jadilah tokoh yang dapat mengubah sesuatu menjadi lebih baik.

No comments:

Post a Comment